Ilustrasi Pesawat & KRI TNI AL ☆
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo belum bisa memastikan kapan pembicaraan prosedur operasional standar (SOP) pengamanan perairan Sulu bisa dilanjutkan.
Rangkaian trilateral pembahasan SOP tersebut sudah dimulai sejak awal Mei 2016 lalu, menyusul peningkatan kasus kriminal, seperti perompakan dan penyanderaan di perairan tersebut.
Trilateral pertama berlangsung pada 5 Mei 2016 di Yogyakarta, yang dihadiri menteri luar negeri dan panglima angkatan bersenjata tiga negara. Masih terkait penyusunan prosedur tersebut, para menteri pertahanan pun sempat bertemu pada Mei 2016 di Laos, pada Juni di Filipina, dan pada pekan lalu di Bali.
Rangkaian pembahasan tersebut sudah menghasilkan sejumlah kesepakatan, namun masih akan dirincikan dalam pertemuan trilateral angkatan bersenjata.
“Angkatan perang satu dan angkatan perang lain harus ada kesepakatan. Jangan sampai kita masuk ke sana, tapi tak tahu (prosedur). Harus diatur komunikasinya,” ujar Gatot pada Tempo di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Agustus 2016.
Menurutnya, penyusunan kesepakatan akan membantu pergerakan pasukan militer, untuk mengantisipasi tindakan kriminal di wilayah laut. “Yang kita kehendaki agar bagaimana saat ada kejadian di mana pun, kita bisa masuk ke sana.”
Gatot pun menyampaikan bahwa proses penyusunan SOP pengamanan laut harus melalui sejumlah tahapan, dan tak bisa disetujui hanya oleh satu lembaga dan kementerian.
“Kan itu tak bisa diputuskan oleh Kemhan saja, harus ada dari DPR juga. Setiap perjanjian menhan yang berkaitan dengan kedaulatan, harus ada ratifikasi DPR,” ujarnya menjelaskan.
Pembahasan terakhir mengenai SOP pengamanan laut ini berlangsung di Nusa Dua, Bali, awal bulan ini. Kesempatan tersebut digunakan Menhan Ryamizard Ryacudu untuk saling tukar pandangan soal isu keamanan maritim dengan Menhan Malaysia Dato' Seri Hishammuddin Tun Hussein, dan Menhan Filipina Delfin Lorenzana.
Ada pula pengembangan Framework of Arrangement (FoA) alias kerangka kerja sama, yang sempat ditandatangani di Jakarta pada 14 Juli dalam forum Joint Working Group (JWG) Ke-3.
Keamanan laut Sulu menjadi keprihatinan bersama negara-negara di Asia Tenggara menyusul makin maraknya aksi penculikan oleh kelompok teroris Abu Sayyaf. Dalam kurun waktu lima bulan, sejak Maret hingga Juli 2016, sudah ada empat kasus penculikan terhadap warga negara Indonesia.
Sebanyak 14 WNI dari dua kasus pertama sudah berhasil dibebaskan. Kini pemerintah tengah mengupayakan pembebasan 10 WNI dari dua kasus yang lebih baru.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo belum bisa memastikan kapan pembicaraan prosedur operasional standar (SOP) pengamanan perairan Sulu bisa dilanjutkan.
Rangkaian trilateral pembahasan SOP tersebut sudah dimulai sejak awal Mei 2016 lalu, menyusul peningkatan kasus kriminal, seperti perompakan dan penyanderaan di perairan tersebut.
Trilateral pertama berlangsung pada 5 Mei 2016 di Yogyakarta, yang dihadiri menteri luar negeri dan panglima angkatan bersenjata tiga negara. Masih terkait penyusunan prosedur tersebut, para menteri pertahanan pun sempat bertemu pada Mei 2016 di Laos, pada Juni di Filipina, dan pada pekan lalu di Bali.
Rangkaian pembahasan tersebut sudah menghasilkan sejumlah kesepakatan, namun masih akan dirincikan dalam pertemuan trilateral angkatan bersenjata.
“Angkatan perang satu dan angkatan perang lain harus ada kesepakatan. Jangan sampai kita masuk ke sana, tapi tak tahu (prosedur). Harus diatur komunikasinya,” ujar Gatot pada Tempo di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Agustus 2016.
Menurutnya, penyusunan kesepakatan akan membantu pergerakan pasukan militer, untuk mengantisipasi tindakan kriminal di wilayah laut. “Yang kita kehendaki agar bagaimana saat ada kejadian di mana pun, kita bisa masuk ke sana.”
Gatot pun menyampaikan bahwa proses penyusunan SOP pengamanan laut harus melalui sejumlah tahapan, dan tak bisa disetujui hanya oleh satu lembaga dan kementerian.
“Kan itu tak bisa diputuskan oleh Kemhan saja, harus ada dari DPR juga. Setiap perjanjian menhan yang berkaitan dengan kedaulatan, harus ada ratifikasi DPR,” ujarnya menjelaskan.
Pembahasan terakhir mengenai SOP pengamanan laut ini berlangsung di Nusa Dua, Bali, awal bulan ini. Kesempatan tersebut digunakan Menhan Ryamizard Ryacudu untuk saling tukar pandangan soal isu keamanan maritim dengan Menhan Malaysia Dato' Seri Hishammuddin Tun Hussein, dan Menhan Filipina Delfin Lorenzana.
Ada pula pengembangan Framework of Arrangement (FoA) alias kerangka kerja sama, yang sempat ditandatangani di Jakarta pada 14 Juli dalam forum Joint Working Group (JWG) Ke-3.
Keamanan laut Sulu menjadi keprihatinan bersama negara-negara di Asia Tenggara menyusul makin maraknya aksi penculikan oleh kelompok teroris Abu Sayyaf. Dalam kurun waktu lima bulan, sejak Maret hingga Juli 2016, sudah ada empat kasus penculikan terhadap warga negara Indonesia.
Sebanyak 14 WNI dari dua kasus pertama sudah berhasil dibebaskan. Kini pemerintah tengah mengupayakan pembebasan 10 WNI dari dua kasus yang lebih baru.
No comments:
Post a Comment